Calon presiden Prabowo Subianto menebar janji manis kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aparat penegak hukum seperti hakim dan jaksa. Ia berjanji kalau terpilih menjadi presiden dalam Pemilihan Presiden 2019 ini, pemerintahannya akan langsung menaikkan gaji mereka.Prabowo berdalih, peningkatan gaji akan menjadi langkah konkret dalam mengatasi korupsi yang mendarah daging di negeri ini. Dalihnya, dengan kenaikan gaji, kesejahteraan abdi negara bisa diperbaiki.
Dengan perbaikan kesejahteraan tersebut, ia yakin niat 'jahat' dan nafsu serakah abdi dan pejabat negara serta penegak hukum untuk korupsi akan berkurang tajam. "Saya akan perbaiki gaji birokrat dengan meningkatkan gaji secara signifikan dan kualitas hidup yang dijamin (supaya tidak ada korupsi), kalau mereka korupsi baru ditindak," ucapnya saat debat pertama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 pada Kamis (17/1) lalu.Prabowo mengatakan peningkatan gaji abdi negara memang diperlukan. Prabowo mengatakan tugas dan fungsi abdi negara memang berat.
Ia mencontohkan, gubernur. Kepala daerah tingkat provinsi tersebut saat ini hanya mendapat gaji pokok sekitar Rp8 juta per bulan. Padahal, cakupan daerah yang harus dipimpin terkadang cukup luas.Prabowo mengatakan bila kenaikan gaji diterapkan, korupsi masih tetap saja meraja lela, pemerintahannya akan memberikan hukuman seberat-beratnya. "Misalnya, menaruh (pelaku korupsi) di pulau terpencil, suruh menambang pasir. Sangat tidak masuk akal kalau pejabat penting gajinya sedikit, tapi setelah itu diawasi dengan ketat," ungkapnya.
Namun, solusi yang ditawarkan Prabowo rupanya tak diamini oleh Calon Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan memberantas korupsi tidak semata hanya urusan gaji. Menurutnya, mengurangi korupsi perlu dilakukan dengan memperketat pengawasan internal.Jokowi mengatakan pengetatan pengawasan jauh lebih efektif untuk menghasilkan birokrasi yang bersih. Lagi pula, Jokowi mengatakan saat ini nominal pendapatan yang diterima abdi negara sudah cukup. Maklum, selain mendapatkan pendapatan bulanan berbentuk gaji, para abdi negara juga mendapatkan banyak tunjangan dan fasilitas dari negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketujuh Belas Atas PP Nomor 7 Tahun 1977 tentang Gaji Pegawai Sipil Negara (PNS), gaji pokok terendah abdi negara sebesar Rp1.488.500 per bulan.
Gaji tersebut berlaku untuk PNS golongan IA yang belum memiliki pengalaman kerja. Sementara gaji pokok tertinggi sebesar Rp5.620.300 per bulan untuk PNS golongan IV E dengan masa kerja hingga 32 tahun.Nominal gaji pokok ini berlaku pada 2015-2017, sebab tidak ada kenaikan gaji pada 2016-2017. Namun sebagai gantinya, pemerintah memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13. Baru pada tahun ini, pemerintah bakal mengerek gaji sekitar 5 persen.
Meski gaji pokok tidak terlalu tinggi dan tidak selalu naik setiap tahun, namun sejatinya kantong PNS tak hanya berisi gaji pokok. Pemerintah turut menyiapkan tunjangan kinerja (tukin) dan fasilitas, seperti mobil dinas dan lainnya.
Pada tahun lalu misalnya, Presiden Jokowi mengeluarkan empat Peraturan Presiden (Perpes) bernomor 119 sampai 122 yang diberikan ke Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan. Dalam empat Perpres itu disebutkan, tukin terendah sebesar Rp2,53 juta, sedangkan tertinggi mencapai Rp33,2 juta. Bahkan tahun ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Syafruddin mengatakan pemerintah akan kembali mengerek tukin bagi kementerian/lembaga dan daerah. "Tukin rata-rata sama, cuma paling beda sesuai kinerja saja. Sekarang rata-rata (tukin) 70 persen, 80 persen, 90 persen paling tinggi," jelasnya.
Senada dengan Jokowi, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai secara umum nominal gaji PNS sudah mencukupi, walaupun di beberapa daerah ada PNS yang gajinya masih cukup pas-pasan.
"Tapi dengan ada kepastian kenaikan gaji, THR, tunjangan, itu semua sudah cukup untuk menutupi kebutuhan PNS secara umum," tuturnya kepada CNNIndonesia.com.Faisal mengakui kenaikan gaji dan tunjangan abdi negara sebetulnya tidak selalu sejalan dengan kualitas kinerja dan pelayanan. Bahkan terkadang, nominal gaji yang tinggi juga bersamaan dengan jumlah pegawai yang terlalu gemuk, justru memicu inefisiensi ganda.
Apalagi, di tengah masalah tersebut sampai saat ini masih ada pengeluaran tunjangan fasilitas bagi PNS. Misalnya, ketika harus mengadakan rapat-rapat di luar kantor, mulai dari beda kota, beda pulau, hingga beda negara, abdi negara mendapatkan tunjangan. "Jadi indikator kesejahteraan PNS tidak bisa dilihat hanya dari gaji pokok, tapi tengok juga tunjangan-tunjangannya," katanya.Dari fakta itu, Faisal mengatakan bahwa pandangan Prabowo soal tingginya korupsi di Indonesia akan bisa diatasi bila gaji abdi negara tidak seharusnya muncul. Banyak contoh kasus yang menunjukkan walau abdi negara dan penegak hukum digaji tinggi, tetap saja mereka tertangkap korupsi.
Contoh nyata terlihat dari kasus Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar yang tertangkap tangan dalam kasus suap penanganan sengketa pemilihan kepala daerah yang ditangani MK. Data mantan Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 2014 lalu menunjukkan total gaji dan tunjangan yang diterima Akil pada kurun waktu 2008 sampai dengan 2013 mencapai Rp12,4 miliar.Dengan jumlah tersebut berarti, setiap tahun gaji dan tunjangan yang diterima Akil mencapai Rp2,4 miliar. Dengan kata lain, selama setahun Akil mendapatkan gaji dan tunjangan sebesar Rp200 juta."Jadi ya memang mayoritas korupsi terjadi lebih karena moral hazard, keserakahan, kerakusan. Jadi harus ada law enforcement untuk tindakan ini," ucapnya.
Faisal mengatakan pemberantasan korupsi tidak serta merta bisa dilakukan dengan mengiming-imingi gaji tinggi kepada PNS, pejabat dan penegak hukum. Upaya itu harus dilakukan melalui reformasi birokrasi yang ketat agar tidak ada celah korupsi. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan menerapkan sistem perizinan dibuat elektronik. Perizinan elektronik bisa mengurangi tatap muka dan korupsi dalam pengurusan izin.
Selain perbaikan mekanisme perizinan , pemberantasan korupsi juga bisa dilakukan dengan meningkatkan pengawasan dan penindakan supaya bisa memberikan efek jera. Dengan begitu, tidak ada aparat yang berani melakukan korupsi karena sadar akan konsekuensi hukum yang besar.Faisal mengatakan kalau Prabowo ingin tetap menggunakan instrumen kenaikan gaji sebagai instrumen untuk mengurangi korupsi, kebijakan tersebut harus dilakukan dengan adil. Keadilan misalnya dilakukan dengan menaikkan gaji dan tunjangan sesuai dengan peforma kerja.
"Kalau semua diratakan, yang tidak memberi performa terbaik pun bisa santai dengan performa yang pas-pasan, tapi tetap dapat kenaikan. Jadi harus ada sistem reward and punishment," terangnya.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra mengatakan kenaikan gaji bisa menjadi salah satu senjata mengurangi korupsi bila dilakukan di jabatan yang rawan alias 'basah', seperti di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu).Menurutnya, perilaku korupsi di DJP beberapa waktu terakhir memang tidak sebanyak beberapa tahun silam. Padahal, target penerimaan terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, karena DJP merupakan salah satu institusi yang bergaji dan tunjangan besar, maka aksi korupsi setidaknya bisa dikurangi. Meski mungkin masih ada satu dua oknum yang belum jera."Pernah ada penelitian empiris di berbagai negara terkait sistem insentif ini, meski tak bisa dipungkiri pasti ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi perilaku korupsi, termasuk soal pengawasan dan penindakan," katanya.
Kendati begitu, sudut pandang tingkat gaji yang memadai dengan berkurangnya perilaku korupsi setidaknya turut terkonfirmasi dari perbandingan laju peningkatan belanja pegawai dan indeks persepsi korupsi (Corruption Perception Index/CPI).Sejalan dengan kenaikan belanja gaji pegawai, indeks persepsi korupsi di Indonesia ikut meningkat. Ini berarti menunjukkan ada kenaikan persepsi bagi para pejabat negara. "Korelasinya mungkin kebetulan positif, tapi memang perlu ada penelitian lanjutan," imbuhnya.
Kendati begitu, ia turut menilai bahwa persoalan korupsi memang tak semata-mata bisa diselesaikan dengan gaji besar. Sebab, ada faktor lain yang membuat korupsi bisa terjadi. Misalnya, untuk PNS yang berada di pusat, potensi korupsi kerap muncul karena jabatan yang strategis.Selanjutnya, untuk PNS di daerah, korupsi biasanya terjadi karena pendapatan mereka belum sama dengan pusat, minim pengawasan, minim transparansi, dan kualitas input PNS yang lebih rendah ketimbang pusat. "Untuk kasus ini, memang mau tidak mau harus ada peningkatan kualitas rekrutmen di daerah dan peningkatan managable yang lebih baik," terangnya.
Kemudian, tak jarang pula ada pejabat negara yang berasal dari kalangan politis yang kemudian terkena kasus korupsi. Menurutnya, ini terjadi karena ongkos politik di Indonesia yang terlalu mahal. Berdasarkan data yang dikantonginya, ongkos politik di tanah air berkisar Rp2-10 miliar."Jadi biasanya ini membuat gaji yang mereka terima belum bisa membalikkan modal yang dikeluarkan, maka terjadi korupsi. Untuk itu perlu ada aturan-aturan agar ongkos politik bisa lebih rendah juga," jelasnya.
Sementara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartanti menilai pandangan soal kenaikan gaji bisa membuat perilaku korupsi menurun mungkin sah-sah saja. Asal, hal tersebut bisa direalisasikan dengan tetap efektif dan tidak memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Caranya, bisa dengan mengubah struktur gaji dan pola rekrutmen. Dari sisi struktur gaji, menurutnya alangkah lebih baik bila gaji PNS diberikan dengan prinsip single sallary system. Artinya, tidak ada sistem gaji pokok dan tunjangan. "Misalnya, gaji gubernur Bank Indonesia bisa berkali-kali lipat dari gaji presiden, tapi ya cuma segitu. Sedangkan presiden masih ada tunjangan dan lainnya," ungkapnya.
Kemudian, pola rekrutmen dilakukan dengan lebih efisien. Ia menyontohkan, misalnya ada sebuah korporasi yang membutuhkan pegawai kerja untuk mengerjakan enam tugas kerja. Lalu, korporasi itu hanya merekrut dua pegawai, namun dengan gaji masing-masing Rp5 juta per bulan. Maka, korporasi harus mengeluarkan Rp10 juta per bulan untuk menyelesaikan enam hal itu.Berbeda bila korporasi tersebut merekrut enam pekerja untuk enam tugas dengan gaji masing-masing Rp2 juta per bulan. Memang gaji yang dibayarkan bisa lebih rendah, tapi bila ditotal jumlahnya bisa lebih tinggi karena membutuhkan Rp12 juta per bulan."Jadi apakah memberatkan APBN? Bisa tidak kalau ada sistem rekrutmen yang lebih baik, lebih pas dengan kebutuhan, tidak gemuk," pungkasnya.