BERITA KOCIK - Ratna Sarumpaet walau Anda pernah mengatakan di TV ONE bahwa negara ini tidak punya Kepala Negara, akhirnya Anda mengakui juga setelah membuat surat tantangan kepada Jokowi ini. Jika Anda tidak mengakui Indonesia tidak punya Kepala Negara, tentu Anda tidak perlu repot untuk membuat surat tantangan ini bukan?
Mungkin ketika Anda mengeluarkan kalimat negara ini tidak punya Kepala Negara di TV ONE dulu dalam kondisi MENOPAUSE BERAT eh salah maksudnya EMOSI TINGGI.
Ratna Sarumpaet memang tak pernah kehabisan argument dalam persoalan yang terjadi di negeri ini, walau argumentnya tidak semuanya layak diperhatikan, sebab ada yang sekedar luapan emosi atau ingin menang sendiri. Tapi paling tidak Ratna Sarumpaet telah mengeluarkan uneg-unegnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan.
Hal biasa yang selalu muncul adalah ada pihak yang pro dan kontra. Berbagai sudut pandang digunakan guna memperkuat argumen mereka tentang sah tidaknya hukuman mati ini, mulai dari sisi agama, hak asasi manusia, khususnya hukum sosial budaya (konsep perilaku sosial) yang ada dalam konsep positivism yang dianut oleh Indonesia.
Pidana mati tercantum dalam KUHP di Indonesia diatur dalam pasal 10 dalam pasal ini dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana mati adalah bagian dari pidana pokok adapun ketentuan diluar KUHP adalah antara lain dalam undang-undang (UU) No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia
***
Mari kita simak surat pendek Ratna Sarumpaet yang ditujukan kepada Presiden Jokowi dan saya berusah menjawab apa adanya, rasanya Jokowi terlalu sibuk mengurusi masalah negara yang sedang melakukan renovasi besar-besaran ini dan belum ada waktu membaca banyak surat yang ditujukan kepada beliau.
Ratna Sarumpaet : “RAKYATMU, bahkan masyarakat dunia berdecak menyaksikan Bapak pada tanggal 29 April lalu dengan berani dan tegas mencabut nyawa para penjahat narkotika, kejahatan yang selama puluhan tahun menghantui bangsa ini. Meski dunia protes dan banyak dari rakyatmu menolak, menganggap ketegasan Bapak itu cuma pencitraan, sebagian rakyat senang. Mereka mengira sekaligus berharap, dengan mencabut nyawa para penyelundup narkotika, mereka akan terbebas dari kejahatan narkotika.”
JAWAB : “Pro kontra dalam setiap kebijakan seorang Presiden memang selalu ada, tapi demi kepentingan rakyat banyak, tindakan tegas harus teguh dipertahankan. Karena rakyat Indonesia sudah 10 tahun dicekoki dengan politik gaya PENCITRAAN ala SBY, apa yang dilakukan Jokowi pun DITUDUH sebagai pencitraan. Jokowi tidak perlu pencitraan karena ia sudah punya CITRA semenjak jadi Walikota Solo, hingga dipilih 2 kali secara mutlak, dan kariernya terus melejit hingga ke puncak pimpinan negeri ini. Itulah bukti bahwa Jokowi tidak melakukan politik pencitraan melainkan BLUSUKAN.
Bila Ratna Sarumpaet ikutan kena virus PENCITRAAN sama saja tidak bisa melihat kinerja pemimpin baru yang ada di hadapannya. Soal hukuman mati tersangka narkoba, siapa yang bisa menjamin akan TERBEBAS dari kejahatan narkotika? Tentu saja hukuman mati bagi mereka untuk memberikan efek jera, walau tidak akan ada jeranya, sebab keuntungan dari bisnis narkoba memang
membuat mereka siap mati melakukan kejahatan itu.
Harapan masyarakat agar terbebas dari kejahatan narkotika harus tumbuh dan berkembang dalam tindakan nyata masyarakat itu sendiri, harus berani menolak segala iming-iming keuntungan dan kenikmatan BARANG HARAM itu, Presiden hanya melaksanan tindakan pencegahan untuk menyelamatkan rakyatnya, konsistenkah rakyat menolak barang haram itu?”
***
Ratna Sarumpaet : “Meski Badan Narkotika Nasional (BNN) tidak mau mengakui, mereka dan Bapak, tahu, betapa para penyelundup narkotika itu berlomba-lomba mendatangi nergeri ini, karena negeri ini makmur penadah, dan di negeri ini hukum bisa dibeli. Meski rakyat tahu para penegak hukum kita, mulai dari pejabat lapas, kepolisian, jaksa hingga hakim masih banyak yang sangat korup dan menerima suap, mereka tidak punya keberanian meneriakkan bahwa para aparat penegak hukum yang korup dan menerima suap itulah sesungguhnya setan yang membuat kejahatan narkotika meraja lela di negeri ini.”
JAWAB : “Indonesia sudah dalam kondisi DARURAT NARKOBA, apa yang dikatakan Ratna Sarumpaet memang demikian adanya, semua aparat bisa DISUAP uang haram untuk meloloskan barang haram itu, tapi beranikah rakyat juga memberikan laporan jika ada APARAT PEJABAT terlibat tindakan tercela itu kepada yang berwajib? Inilah kendala utamanya, rakyat tidak ada keberanian untuk melakukan perlawanan secara kuat melawan OKNUM APARAT itu jika memang ada buktinya. Jadi untuk melawan KEJAHATAN narkotika memang dibutuhkan kerjasama dalam kejujuran untuk menghadapinya, sebab ada rakyat dan aparat justru sering terjadi terlibat kerjasama mengedarkan barang haram itu. Presiden Jokowi SUDAH TEGAS menghukum mati penjahat narkoba, tinggal diperluas lagi hukumannya, siapa saja yang terlibat layak dihukum mati, bisakah mbak Ratna dan masyarakat mendukung kebijakan itu?”
***
Ratna Sarumpaet : “Jadi kalau sikap tegas Bapak mencabut nyawa para penjahat narkotika itu betul-betul lahir dari kuatnya keinginan Bapak menghentikan kejahatan narkotika di negeri tercinta ini, melalui pesan ini, saya menantang keberanian Bapak mencabut nyawa aparat penegak hukum yang korup dan terima suap dan menuntut Bapak berdiri di belakang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK-RI) serta melakukan segala cara untuk mengembalikan wibawa KPK. Salam hormat.”
JAWAB : “Sudah terbukti Presiden Jokowi keinginannya KUAT dan KONSISTEN melaksanakan hukuman mati terhadap penjahat narkoba demi menyelamatkan generasi bangsa ini. Tentu saja semua tindakan Presiden harus ada dasar kuatnya yaitu KUHP.
Apakah hukuman mati bagi KORUPTOR ada undang-undangnya?
Mari kita simak pasal 2 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi.
Kasus korupsi memang BUANYAK, tapi bila merujuk pada pasal tersebut berikut penjelasannya, KASUS korupsi dana bencana alam dan bencana perang dan lain-lainnya sekarang ini belum ada.
Nah, mbak Ratna Sarumpaet sebaiknya Anda MENANTANG para penegak hukum UNTUK MEREVISI UNDANG-UNDANGNYA DULU, sebelum MENANTANG Presiden Jokowi melaksanakan hukuman mati terhadap koruptor.
Tentu saja agar hukuman ini lebih dikembangkan lagi dan dipertegas, serta banyak lagi tersangka-tersangka yang akan di hukum mati seperti kasus-kasus korupsi di instansi pemerintahan.
Yang lebih penting lagi, semua hukuman mati harus dilaksanakan dengan TELITI dan HATI-HATI, sebab bila terjadi saat Hakim menjatuhkan hukuman mati itu tersesat (lijkedwaling) maka hukuman tidak lagi dapat diubah atau DIBATALKAN karena yang dihukum telah mati.
Angin keras takkan berlangsung sepenuh pagi.
Hujan lebat takkan berlangsung sepenuh hari.
Siapakah penyebab ini pada langit dan bumi?
Kalau langit dan bumi pun tidak dapat berbuat tanpa henti,
apalagi seorang manusia?