Rabu, 20 Maret 2019

Detik-detik Lion Air Jatuh, Kopilot Teriak 'Allahu Akbar'

Detik-detik Lion Air Jatuh, Kopilot Teriak 'Allahu Akbar'
Pilot pesawat Lion Air JT 610 bernomor PK-LQP dari Jakarta menuju Pangkal Pinang, Bhavye Suneja, hanya terdiam sesaat sebelum pesawat yang dia kendalikan menukik ke laut. Sementara kopilot, Harvino, menyerukan kalimat takbir, "Allahu Akbar".Hal itu disampaikan oleh tiga orang sumber anonim yang mengetahui isi cockpit voice recorder (CVR) kepada kantor berita Reuters. Ini adalah pertama kalinya isi CVR terungkap ke publik. Reuters sendiri tidak memiliki rekaman maupun transkrip dari isi CVR tersebut.

Berdasarkan hasil investigasi kecelakaan yang dilansir Reuters, pilot dan kopilot sempat panik mencari solusi ketika pesawat mengalami gangguan.Salah satu sumber yang diwawancarai oleh Reuters menyatakan dua menit setelah lepas landas, kopilot sempat melaporkan 'masalah pada kendali penerbangan' kepada pihak air traffic control (ATC). Dia mengatakan pihaknya ingin mempertahankan ketinggian pesawat di 5.000 kaki.Kopilot tidak memerinci masalah yang dialami. Namun, menurut seorang sumber Reuters, rekaman suara kokpit menyebutkan masalah itu terkait kecepatan udara.

Sementara itu, sumber lain Reuters mengatakan ada indikator yang menunjukkan masalah pada layar pilot, bukan di layar kopilot.Kapten pun meminta kopilot untuk memeriksa buku panduan referensi cepat, yang berisi daftar peristiwa-peristiwa abnormal.Selama sembilan menit berikutnya, pesawat itu memperingatkan pilot terkait kondisi stall - kondisi ketika aliran udara di atas sayap pesawat terlalu lemah untuk mempertahankan agar pesawat terbang. Pilot pun merespons dengan mendorong bagian hidung pesawat ke bawah.
Pilot, menurut sumber Reuters yang sama, berupaya keras untuk menaikkan pesawat. Namun komputer, yang salah mendeteksi kondisi stall, terus menekan hidung pesawat menggunakan sistem trim.

Normalnya, sistem trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar."Mereka tampaknya tidak tahu trim itu bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Hanya itu yang mereka bicarakan," ungkap sumber Reuters.
Pilot kemudian meminta kopilot untuk menerbangkan pesawat, sementara ia memeriksa pandual untuk mencari solusi permasalahan.
Sekitar satu menit sebelum pesawat hilang dari radar, pilot kemudian meminta ATC untuk membersihkan lalu lintas lainnya di bawah 3.000 kaki dan meminta diizinkan untuk turun dari ketinggian 5.000 kaki. Permintaan itu disetujui.

Saat pilot mencoba untuk menemukan prosedur yang tepat dalam buku panduan, kopilot pesawat tidak mampu mengendalikan pesawat itu.Rekaman data penerbangan menunjukkan input kolom kontrol akhir dari kopilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh pilot."Ini seperti ujian di mana ada 100 pertanyaan dan ketika waktunya habis Anda hanya menjawab 75. Jadi, kamu panik. Ini adalah kondisi time-out," ujar sumber ketiga, sebagaimana diberitakan Reuters.Pesawat Lion Air JT 610 jatuh sesaat setelah terbang dari Bandara Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang, di perairan Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018. Sebanyak 189 orang menjadi korban.

Nasib Orang Utan di Batang Toru

Nasib Orang Utan di Batang Toru
PROYEK pembangkit listrik tenaga air Batang Toru, Sumatera Utara, memunculkan problem lingkungan yang serius. Pembukaan lahan untuk pembangkit berkapasitas 510 megawatt itu mengancam sekitar 800 ekor orang utan Tapanuli. Untuk mencegah dampak buruk, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek PLTA ini perlu segera direvisi.Orang utan di Batang Toru harus dilindungi karena langka. Setelah meneliti bertahuntahun, para ilmuwan menyimpulkan orang utan itu amat khas. Selain bulunya lebih lebat, tengkoraknya lebih kecil. Dalam jurnal Current Biology pada 2017, mereka pun ditabalkan sebagai orang utan jenis baru: Pongo tapanuliensis. Kini orang utan itu mulai tergusur dari habibatnya dan sebagian membikin sarang lebih tinggi karena merasa terancam.

Sejak awal, pemerintah daerah terkesan mengabaikan dampak buruk proyek yang digarap oleh PT North Sumatera Hydro Energy itu. Dokumen amdal terbaru, yang keluar pada 2016, tidak memasukkan dampak pembangunan PLTA terhadap satwa langka. Padahal dokumen amdal yang dibuat dua tahun sebelumnya masih mencantumkan soal dampak buruk itu. Bukan hanya orang utan yang terancam proyek ini, tapi juga satwa lain yang dilindungi, seperti harimau Sumatera, burung rangkong, dan tenggiling.Amdal pembangunan PLTA Batang Toru patut dipersoalkan serius karena ditengarai pula cacat hukum. Seperti yang diungkap dalam liputan investigasi Tempo, dokumen amdal itu dibuat tanpa persetujuan dari salah seorang penyusunnya, Onrizal, dosen Universitas Sumatera Utara. Amdal tetap keluar karena tanda tangan Onrizal diduga dipalsukan.

Dampak sosial proyek listrik itu pun perlu dikaji lagi. Pembabatan hutan untuk lahan PLTA telah menyebabkan masyarakat yang bermukim di hilir Sungai Batang Toru kebanjiran. Pertengahan September 2018, Kampung Pulo Lubang, Desa Hapesong Baru, Tapanuli Selatan, terendam banjir setinggi dua meter karena luapan air Sungai Batang Toru, yang berjarak sekitar 300 meter dari kampung. Ribuan hektare sawah dan kolam ikan pun terendam.Pemerintah perlu menelaah sungguhsungguh untungrugi pembangunan PLTA tersebut. Proyek ini menelan biaya hingga Rp 21 triliun karena menggunakan lahan yang amat luas untuk bendungan. Masalah serius lain setelah PLTA beroperasi adalah sedimentasi yang mengakibatkan penurunan daya tampung waduk. Sedimentasi akan menurunkan kinerja PLTA, seperti di­alami PLTA Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 2014. Akibat sedimentasi, salah satu turbinnya tak dapat berfungsi sehingga PLTA yang sedianya menghasilkan listrik 12,4 megawatt hanya mampu memasok separuhnya.

Di negara lain, proyek serupa pun bermasalah, seperti kasus pembangunan Bendungan Tiga Ngarai untuk pembangkit listrik 22.400 megawatt di Cina. Pembangkit ini dibangun Sinohydroperusahaan Cina yang juga menggarap konstruksi PLTA Batang Toru. Proyek raksasa itu memaksa lebih dari 1,2 juta penduduk di sekitarnya mengungsi karena kota dan desa mereka terendam air untuk reservoir bendungan. Reservoir sepanjang 600 kilometer tersebut juga menenggelamkan banyak bangunan bersejarah dan artefak berusia 8.000 tahun.Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh meremehkan dampak sosial dan lingkungan PLTA Batang Toru. Jangan sampai proyek pembangkit listrik berbiaya mahal ini justru mendatangkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.

Wisata Sejarah Palembang, Bunker Jepang Konon Tembus Sungai Musi

Wisata Sejarah Palembang, Bunker Jepang Konon Tembus Sungai Musi
Palembang - Jika berkunjung ke Palembang, wisatawan bisa menikmati wisata sejarah berupa bunker peninggalan penjajahan Jepang. Belum banyak yang tahu di mana dan seperti apa kondisi bunker tersebut. Padahal bunker itu ada di pusat keramaian, sentra aktivitas masyarakat Palembang.
Di pusat perkantoran Palembang, tepat di Simpang Charitas, ada sepetak tanah di atas tebing dengan kondisi kosong tanpa bangunan. Lahan itu tampak kontras dengan sisi kiri kananya yang merupakan gedung tinggi, salah satunya bangunan Rumah Sakit Charitas Palembang.

Pada lahan kosong itu, ada bangunan persegi empat yang terbuat dari semen cor dan sudah berlumur. Tembok bangunan yang tak terawat itu sangat tebal dan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama ada di atas berupa persegi empat, sedangkan bangunan kedua di bawah tanah dengan kedalaman 2 meter, ditambah ruang bawah tanah dengan terowongan gelap gulita dan basah. Konon terowongan itu bisa menembus ke pinggiran Sungai Musi.Bangunan tak terawat di lahan kosong itu adalah bunker buatan Jepang, tak satu orang pun pernah membuktikan desas-desus yang katanya tembus ke Sungai Musi itu. Ternyata bunker peninggalan Jepang tak hanya ada di titik itu. Bunker Jepang lainnya juga ditemukan di kawasan padat penduduk di Jalan AKBP Umar. Jarak dari Bunker Charitas dan Bunker AKBP Umar ini sekitar 3 kilometer.

Kondisi bunker di Jalan AKBP Umar ini tak terawat dengan kondisi ditumbuhi rumput semak belukar. Bangunan ini memiliki panjang 8,8 meter, lebar 6,4 meter dan tinggi 3,3 meter. Berbeda dengan Bunker Charitas yang persegi empat, bunker ini berbentuk huruf U. Bentuk dasar bangunan adalah persegi panjang dengan dua buah lorong pintu yang terletak pada kedua sisi ujung depan. Di samping itu terdapat menara di bagian belakang dan di bagian atas bangunan tampak mirip cerobong.
Pada kedua lorong bunker di Jalan AKBP Umar itu memiliki atap berbentuk lengkung dan pintu dengan lebar 2,1 meter. Sedangkan pada bagian dalamnya terdapat sekat-sekat ruang dengan dinding cor dengan tebal sekilan pria dewasa.

Sejarawan Sumatera Selatan, Farida Wargadalam mengatakan di Kota Palembang memang banyak bunker buatan Jepang. Jumlahnya mencapai belasan dan tersebar dipenjuru Kota Palembang. “Bunker-bunker itu adalah instalasi militer yang berfungsi tempat perlindungan bagi militer Jepang dan menjadi simbol pertahanan,” kata dia, Selasa 19 Maret 2019.
Palembang memang salah satu kota pertama yang diduduki Jepang ketika datang di Hindia Belanda. Bumi Sriwijaya ini diduduki setelah Jepang menguasai Tarakan dan Balikpapan pada tanggal 10 Januari 1942, yang terkenal sebagai daerah pertambangan minyak di Pulau Kalimantan. Alasan Kota Palembang diduduki Jepang karena kota ini salah satu daerah penghasil minyak di Pulau Sumatera. Minyak bagi Jepang sangat penting untuk memasok kebutuhan perang melawan sekutu.

Muhammad Riyad Nes dalam jurnalnya yang terbit di Jurnal Arkeologi Siddhayatra berjudul ‘Tipologi Instalasi Militer Jepang di Kota Palembang’ menyatakan di Palembang ada dua jenis bunker, yakni bunker di daerah perbukitan dan bunker di daerah pertambangan minyak. Bunker di lokasi perbukitan berbentuk persegi dan berbentuk huruf U, di bangunan itu memiliki ruang di bawah tanah, dengan kontruksi beton dengan arah pandang ke Sungai Musi.
Bunker di daerah perbukitan juga memiliki ruang-ruang yang cukup luas dan ventalasi untuk mengintai musuh dari dalam ruangan, dan mempunyai atap yang datar dengan bangunan terkubur. Juga ditambah terowongan yang panjang dengan jalan yang berbelok-belok. Adapun di daerah pertambangan minyak atau di daerah datar berbentuk persegi empat dengan ukuran lebih besar dari bunker di daerah perbukitan.

Pada bagian dalam bunker ini terdapat ruang tertutup, sedangkan bila ruang terbuka maka tanpa atap. Ruangan yang luas ini berfungsi untuk menampung militer Jepang, juga ada ventilasi untuk mengintai, dan di bagian luar ada tempat meriam ukuran besar. Ini menujukkan bangunan bunker sangat memperhatikan lokasi geografis sebagai lokasi strategis. Bangunan pertahanan di daerah perbukitan guna untuk mengintai dan mengawasi musuh di tempat terbuka, sedangkan banguan bunker di daerah tambang sebagai simbol menduduki daerah tersebut, sekaligus sebagai pertahanan ketika diserang musuh.

Bunker-bunker yang sudah terabaikan itu, kini tak semuanya bisa ditemui apalagi ditelusuri jejak fungsinya karena hancur dimakan usia. Bunker itu juga sudah banyak yang rusak oleh tangan usil masyarakat. “Situs-situs itu tak terawat karena tak ada hukum perlindangan cagar budaya. Bunker-bunker itu harus dibuat kajian mendalam dan dikeluarkan SK Cagar Budaya,” kata arkeolog Universitas Jambi itu.Saat ini, sisa-sisa pertahanan Jepang yang dapat ditemukan di Palembang yakni Bunker Charitas, Bunker AKBP Umar, Bunker Karya Ibu, Bunker Jalan Joko, Bunker Jakabaring, Bunker Komplek Pertahanan Jepang Sikam, hingga Bunker Kompleks Pertahanan Udara Jepang Lorong Hikmah.

Diberdayakan oleh Blogger.