BERITA KOCIK |
Berita Terkini - Hari ini Indonesia genap 71 tahun dan suara pekik merdeka akan terdengar lebih parau dari sebelumnya. Pekik yang barangkali juga akan dijawab dengan kata yang ditulis Ikranegara dalam puisinya yang nakal dan janggal, tetapi makin ke sini, kok, ya, makin terasa sebagai kebenaran.
Merdeka!
Belum
Pertanyaannya, apakah kita memang belum merdeka? Secara fisik tentunya sudah. Tidak ada Spanyol tidak ada Portugal. Tidak ada lagi komandan kompeni yang wara-wiri di atas kuda dan memasang tampang angkuh dan mulutnya tiada henti mencecarkan makian 'godverdomme' dan 'inlander'.
Tidak ada lagi saudara tua: maniak-maniak yang membikin negeri terkasih ini hancur sehancur- hancurnya dalam tempo tiga setengah tahun saja. Tidak ada NICA. Tidak ada Jan Pieterszoon Coen, tidak ada Raymond Pierre Paul Westerling.
Namun tentu pula merdeka bukan sekadar fisik. Bukan cuma badaniah. Merdeka juga mencakup pikiran dan hati. Merdeka dalam jiwa. Dan sungguh sangat disayangkan, sampai 71 tahun sejak teks proklamasi dibacakan Soekarno, merdeka masih sebatas fisik. Pikiran belum, hati belum, jiwa apalagi, dan inilah sebab kenapa ketidakpuasan terus menyeruak.
Merdeka, juga kemerdekaan, tak lebih dari seonggok kata yang diabadikan tanpa makna di lembaran teks proklamasi. Merdeka, juga kemerdekaan, seolah-olah ditinggalkan di tembok- tembok kota yang sudah lama diruntuhkan. Kesalahkaprahan yang melahirkan semangat untuk berpisah dari republik: DI, RMS, GAM, OPM.
Apakah saya terlalu skeptis? Mereka yang sampai hari ini hidupnya anteng-anteng belaka, yang masalah terbesar yang dihadapinya adalah keterlanjuran meneguk kopi yang oleh baristanya ternyata dicampur gula dan itupun bukan gula rendah kalori, barangkali akan beranggapan demikian. Mereka akan menganggap gugatan terhadap merdeka sebagai keceriwisan yang mengada-ada.
Orang-orang semacam ini tentunya tidak boleh disalahkan. Tuhan menurunkan keberuntungan dan sungguh beruntung mereka yang mendapatkannya. Tapi faktanya, memang, sedikit yang seperti mereka. Tidak sampai 20 persen. Sisanya adalah para jelata yang disebut Wiji Thukul sebagai 'serdadu-serdadu kebijaksanaan'. Serdadu yang lahir karena adaptasi yang terpaksa atas keadaan yang mau tak mau, suka tidak suka, mesti diterima. Bahwa masalah nomor satu adalah hari ini, jangan mati sebelum dimampus takdir.
Meski jelata, meski serba berkekurangan, orang-orang dalam kelompok ini pada dasarnya tetap berhak menikmati kemerdekaan. Bentuknya mungkin bukan secangkir kopi kualitas premium di kafe-kafe branded. Bukan pakaian dalam Victoria Secret. Bukan jam tangan Richard Mille. Bukan BMW, Audi, Mercedes, Jaguar, Ferrari. Bukan apartemen di kawasan segi tiga emas Jakarta. Bukan yacht. Bukan sepetak tanah dengan nisan marmar kelas satu di San Diego Hills atau Al Azhar Memorial Garden.
Melainkan hak untuk berserikat dan berkumpul. Hak untuk berpendapat. Hak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan, dan untuk mendapatkan nafkah. Pendeknya, hak untuk dilindungi oleh penyelenggara negara dan pemangku-pemangku kebijakan.
Sayangnya, kita pun tahu benar, hak-hak ini kerap dikebiri. Alih-alih melindungi, penyelenggara negara dan pemangku kebijakan justru seringkali berada di barisan terdepan untuk mengelabui dan mencelakai mereka.
Rendra pernah teriak-teriak, orang kecil, rakyat kecil, tidak bisa ngalah melulu. Tapi apa mau dikata, memang inilah kenyataannya. Orang kecil, rakyat kecil, memang ditempatkan pada posisi yang tidak sekadar mengharuskan mereka untuk kalah, tetapi lebih jauh memaksa mereka menerima dan memaklumi kekalahan itu.
Di Medan, jelang perayaan hari merdeka, tentara membabibuta menggebuk rakyat yang sedang mencoba menggunakan haknya. Hak atas tanah yang menurut mereka hendak direnggut oleh tentara.
Terlepas keliru atau benarnya, atau paham tidak pahamnya rakyat terhadap undang-undang dan hukum negara yang kadang-kadang kelewat rumit, tentara tetap tak boleh main kayu. Sebab tentara semestinya hadir untuk memberikan rasa nyaman dan tentram, bukan merasukkan ketakutan.
Besok Indonesia genap 71 tahun merdeka. Sudah berlalu 71 tahun dan seharusnya, bait terakhir dari puisi berjudul Kemerdekaan yang ditulis Wiji Thukul di tahun 1988: "kemerdekaan selalu di garis depan", tidak perlu dibacakan lagi. Pula demikian puisinya yang lain, berjudul serupa yang ditulis enam tahun sebelumnya: "Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai."
Sayangnya tidak demikian, dan besok, seperti pada perayaan-perayaan sebelumnya, suara pekik merdeka akan tetap terdengar parau. Bahkan lebih parau.