Nasib Orang Utan di Batang Toru |
PROYEK pembangkit listrik tenaga air Batang Toru, Sumatera Utara, memunculkan problem lingkungan yang serius. Pembukaan lahan untuk pembangkit berkapasitas 510 megawatt itu mengancam sekitar 800 ekor orang utan Tapanuli. Untuk mencegah dampak buruk, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek PLTA ini perlu segera direvisi.Orang utan di Batang Toru harus dilindungi karena langka. Setelah meneliti bertahuntahun, para ilmuwan menyimpulkan orang utan itu amat khas. Selain bulunya lebih lebat, tengkoraknya lebih kecil. Dalam jurnal Current Biology pada 2017, mereka pun ditabalkan sebagai orang utan jenis baru: Pongo tapanuliensis. Kini orang utan itu mulai tergusur dari habibatnya dan sebagian membikin sarang lebih tinggi karena merasa terancam.
Sejak awal, pemerintah daerah terkesan mengabaikan dampak buruk proyek yang digarap oleh PT North Sumatera Hydro Energy itu. Dokumen amdal terbaru, yang keluar pada 2016, tidak memasukkan dampak pembangunan PLTA terhadap satwa langka. Padahal dokumen amdal yang dibuat dua tahun sebelumnya masih mencantumkan soal dampak buruk itu. Bukan hanya orang utan yang terancam proyek ini, tapi juga satwa lain yang dilindungi, seperti harimau Sumatera, burung rangkong, dan tenggiling.Amdal pembangunan PLTA Batang Toru patut dipersoalkan serius karena ditengarai pula cacat hukum. Seperti yang diungkap dalam liputan investigasi Tempo, dokumen amdal itu dibuat tanpa persetujuan dari salah seorang penyusunnya, Onrizal, dosen Universitas Sumatera Utara. Amdal tetap keluar karena tanda tangan Onrizal diduga dipalsukan.
Dampak sosial proyek listrik itu pun perlu dikaji lagi. Pembabatan hutan untuk lahan PLTA telah menyebabkan masyarakat yang bermukim di hilir Sungai Batang Toru kebanjiran. Pertengahan September 2018, Kampung Pulo Lubang, Desa Hapesong Baru, Tapanuli Selatan, terendam banjir setinggi dua meter karena luapan air Sungai Batang Toru, yang berjarak sekitar 300 meter dari kampung. Ribuan hektare sawah dan kolam ikan pun terendam.Pemerintah perlu menelaah sungguhsungguh untungrugi pembangunan PLTA tersebut. Proyek ini menelan biaya hingga Rp 21 triliun karena menggunakan lahan yang amat luas untuk bendungan. Masalah serius lain setelah PLTA beroperasi adalah sedimentasi yang mengakibatkan penurunan daya tampung waduk. Sedimentasi akan menurunkan kinerja PLTA, seperti dialami PLTA Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 2014. Akibat sedimentasi, salah satu turbinnya tak dapat berfungsi sehingga PLTA yang sedianya menghasilkan listrik 12,4 megawatt hanya mampu memasok separuhnya.
Di negara lain, proyek serupa pun bermasalah, seperti kasus pembangunan Bendungan Tiga Ngarai untuk pembangkit listrik 22.400 megawatt di Cina. Pembangkit ini dibangun Sinohydroperusahaan Cina yang juga menggarap konstruksi PLTA Batang Toru. Proyek raksasa itu memaksa lebih dari 1,2 juta penduduk di sekitarnya mengungsi karena kota dan desa mereka terendam air untuk reservoir bendungan. Reservoir sepanjang 600 kilometer tersebut juga menenggelamkan banyak bangunan bersejarah dan artefak berusia 8.000 tahun.Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh meremehkan dampak sosial dan lingkungan PLTA Batang Toru. Jangan sampai proyek pembangkit listrik berbiaya mahal ini justru mendatangkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.
Sejak awal, pemerintah daerah terkesan mengabaikan dampak buruk proyek yang digarap oleh PT North Sumatera Hydro Energy itu. Dokumen amdal terbaru, yang keluar pada 2016, tidak memasukkan dampak pembangunan PLTA terhadap satwa langka. Padahal dokumen amdal yang dibuat dua tahun sebelumnya masih mencantumkan soal dampak buruk itu. Bukan hanya orang utan yang terancam proyek ini, tapi juga satwa lain yang dilindungi, seperti harimau Sumatera, burung rangkong, dan tenggiling.Amdal pembangunan PLTA Batang Toru patut dipersoalkan serius karena ditengarai pula cacat hukum. Seperti yang diungkap dalam liputan investigasi Tempo, dokumen amdal itu dibuat tanpa persetujuan dari salah seorang penyusunnya, Onrizal, dosen Universitas Sumatera Utara. Amdal tetap keluar karena tanda tangan Onrizal diduga dipalsukan.
Dampak sosial proyek listrik itu pun perlu dikaji lagi. Pembabatan hutan untuk lahan PLTA telah menyebabkan masyarakat yang bermukim di hilir Sungai Batang Toru kebanjiran. Pertengahan September 2018, Kampung Pulo Lubang, Desa Hapesong Baru, Tapanuli Selatan, terendam banjir setinggi dua meter karena luapan air Sungai Batang Toru, yang berjarak sekitar 300 meter dari kampung. Ribuan hektare sawah dan kolam ikan pun terendam.Pemerintah perlu menelaah sungguhsungguh untungrugi pembangunan PLTA tersebut. Proyek ini menelan biaya hingga Rp 21 triliun karena menggunakan lahan yang amat luas untuk bendungan. Masalah serius lain setelah PLTA beroperasi adalah sedimentasi yang mengakibatkan penurunan daya tampung waduk. Sedimentasi akan menurunkan kinerja PLTA, seperti dialami PLTA Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 2014. Akibat sedimentasi, salah satu turbinnya tak dapat berfungsi sehingga PLTA yang sedianya menghasilkan listrik 12,4 megawatt hanya mampu memasok separuhnya.
Di negara lain, proyek serupa pun bermasalah, seperti kasus pembangunan Bendungan Tiga Ngarai untuk pembangkit listrik 22.400 megawatt di Cina. Pembangkit ini dibangun Sinohydroperusahaan Cina yang juga menggarap konstruksi PLTA Batang Toru. Proyek raksasa itu memaksa lebih dari 1,2 juta penduduk di sekitarnya mengungsi karena kota dan desa mereka terendam air untuk reservoir bendungan. Reservoir sepanjang 600 kilometer tersebut juga menenggelamkan banyak bangunan bersejarah dan artefak berusia 8.000 tahun.Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh meremehkan dampak sosial dan lingkungan PLTA Batang Toru. Jangan sampai proyek pembangkit listrik berbiaya mahal ini justru mendatangkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.
0 komentar:
Posting Komentar