Mungkinkah Orgasme Saat Mengalami Pelecehan Seksual ? |
“Orgasme bisa terjadi hanya setelah hubungan seksual suka-sama-suka.” Pola pikir ini tak selamanya benar. Meskipun jarang, korban kekerasan seksual bisa mengalami gairah seksual dan orgasme dari pelecehan yang mereka alami.
Sebuah laporan tahun 2004 terbitan Journal of Clinical Forensic Medicine menemukan bahwa dari total kasus laporan perkosaan, 4-5% korbannya menggambarkan pengalaman orgasme. Namun jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi. Satu penelitian, dikutip dari Pop Sci, memperkirakan ada 10% hingga lebih dari 50% korban perkosaan yang berbagi pengalaman serupa.
Bagaimana bisa korban perkosaan, terutama yang keji, mengalami orgasme? Bukankah seharusnya tubuh bisa bertindak defensif untuk menolak ancaman dari luar? Lantas, apa pengalaman orgasme dari korban kekerasan seksual berarti tubuh mereka secara tidak sadar “mengiyakan” pengalaman mengerikan tersebut, sehingga menjadikan perkosaan sebagai tindakan seks konsensual?
Aksi perkosaan tidak selalu melibatkan kekerasan
Sebuah laporan tahun 2004 terbitan Journal of Clinical Forensic Medicine menemukan bahwa dari total kasus laporan perkosaan, 4-5% korbannya menggambarkan pengalaman orgasme. Namun jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi. Satu penelitian, dikutip dari Pop Sci, memperkirakan ada 10% hingga lebih dari 50% korban perkosaan yang berbagi pengalaman serupa.
Bagaimana bisa korban perkosaan, terutama yang keji, mengalami orgasme? Bukankah seharusnya tubuh bisa bertindak defensif untuk menolak ancaman dari luar? Lantas, apa pengalaman orgasme dari korban kekerasan seksual berarti tubuh mereka secara tidak sadar “mengiyakan” pengalaman mengerikan tersebut, sehingga menjadikan perkosaan sebagai tindakan seks konsensual?
Aksi perkosaan tidak selalu melibatkan kekerasan
Kekerasan seksual bukanlah pengalaman yang sama bagi semua orang. Media sering kali menggambarkan korban pelecehan seksual bergulat dengan pelaku, yang makin mengedepankan paham pemikiran bahwa kecuali korban benar-benar melakukan perlawanan gigih dan mati-matian, mereka tidak benar-benar menolak hubungan seks tersebut.
Perkosaan tidak selalu berupa pemaksaan atau kekerasan fisik yang nyata. Beberapa pelaku kekerasan seksual adalah pasangan sah dari korbannya. Beberapa korban berada dalam situasi tertentu yang mengharuskan mereka menyerah untuk melindungi diri mereka sendiri atau orang yang mereka cintai. Banyak dari mereka adalah anak-anak. Beberapa korban dibius, dibuat mabuk sampai hilang kesadaran, dilumpuhkan secara fisik atau mental, merupakan orang-orang dengan disabilitas fisik maupun mental, atau dalam posisi tanpa kekuatan. Perkosaan juga bukan hanya melulu menyoal penetrasi alat kelamin.
Perkosaan dan gairah seksual bisa terjadi secara bersamaan, dan satu hal tidak meniadakan yang lain. Ini alasannya.
Tubuh manusia dirancang untuk menanggapi rangsangan
Tubuh kita pada dasarnya dirancang sedemikian rupa untuk bereaksi terhadap rangsangan, baik sentuhan maupun tekanan. Rangsangan tidak selalu dapat dikendalikan. Alat kelamin manusia sangat sensitif begitu pula dengan daerah di sekitar anus tapi kita juga bisa sangat sensitif saat disentuh di bagian tubuh lain di luar wilayah intim yang selalu dikaitkan dengan gairah seksual, yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
Kebanyakan dari kita pernah mengalami pengalaman gairah yang tidak diinginkan atau disengaja. Misalnya, getaran dari mengendarai bus umum atau saat memangku kucing yang mendengkur. Mungkin, perbandingan yang lebih umum adalah kelitikan. Gelitikan bisa menjadi suatu pengalaman yang menyenangkan. Tapi, saat dilakukan melawan keinginan orang tersebut, kelitikan bisa menjadi suatu yang tidak nyaman. Selama mengalami kelitikan, terlepas dari seruan minta tolong dan berhenti, ia akan terus tertawa geli. Mereka tidak bisa membendung reaksi dari rangsangan tersebut.
Jika kekerasan seksual melibatkan beberapa bentuk sentuhan anal atau penetrasi, umum bagi tubuh untuk merespon dengan menunjukkan ciri gairah, seperti ereksi dan/atau ejakulasi, atau vagina basah. Kesadaran juga tidak diperlukan untuk orgasme. Baik pria maupun wanita bisa mengalami orgasme saat tidur. Ini karena organ seksual dan titik-titik rawan rangsangan Anda tidak memiliki otak. Tubuh secara otomatis menanggapi stimulasi dengan cara yang sudah diatur sedemikian rupa dari sinyal yang dikirim kelompok ujung saraf di area yang distimulasi tersebut.
Selain terhadap stimulasi fisik, rangsangan juga bisa menanggapai rasa takut. Ciri ketakutan dan gairah secara fisik sangatlah mirip, misalnya peningkatan denyut jantung, napas cepat dan dangkal, juga peningkatan kewaspadaan. Kombinasi rasa takut, gairah, dan sentuhan fisik dapat mencampuradukkan reaksi tubuh.
Rangsangan seksual selama serangan seksual merupakan mekanisme pertahanan diri
Reaksi gairah dan orgasme selama perkosaan adalah respon refleks, sesuatu yang tidak dapat dikontrol dan sama sekali tidak berarti bahwa korban menikmatinya ini adalah soal proteksi. Berdasarkan laporan dari dua ilmuwan, Suschinsky dan Lalumiere, dilansir dari Bust, reaksi rangsangan dari seorang wanita selama serangan seksual, misalnya vagina basah, merupakan mekanisme pertahanan diri otomatis untuk melindungi tubuh dari cedera alat kelamin yang bisa diakibatkan dari seks (baik suka-sama-suka atau paksaan), seperti nyeri dan sobek, terlepas dari tingkat antusiasme atau persetujuan dari individu tersebut.
Gairah seksual diproses dalam sistem saraf otonom sistem refleks yang sama yang mendasari kerja detak jantung, pencernaan, dan keringat. Selama rangsangan seksual, satu wilayah dalam otak di belakang mata kiri (lateral orbitofrontal cortex), penanggung jawab nalar logis dan kontrol perilaku, menjadi tidak aktif. Akibatnya, tubuh tidak bisa membedakan mana sentuhan yang mengancam dan mana yang penuh kasih. Di tempat ini pula terletak sistem respon fight-or-flight, sebuah tanggapan fisik yang timbul ketika tubuh merasa ketakutan akan ancaman nyata bagi keselamatannya.
Dalam satu studi yang melibatkan partisipan pria dewasa, kecemasan yang timbul dari sengatan listrik menunjukkan peningkatan respon ereksi terhadap gambar-gambar seksual yang merangsang, mengakibatkan “perpindahan perangsangan”. Artinya, subyek penelitian tidak menikmati sengatan listrik yang mereka terima, tapi tubuh bereaksi terhadap ancaman rasa sakit, yang disalurkan ke gejala fisik.
Dengan kata lain, faktor mental dan fisik dan seksualitas manusia sering berjalan beriringan dan dalam persetujuan tapi tidak selalu. Gairah dan orgasme bisa terjadi selama tindak perkosaan atau kekerasan seksual lainnya. Mungkin jauh lebih sering dari yang kita tahu. Ini bukan tanda rasa bersalah atau kesenangan. Bukan juga berarti korban menikmati atau mendapatkan kepuasan dari kekejian tersebut. Ini adalah tanda bahwa tubuh kita bereaksi natural terhadap ancaman dan bahaya, sama seperti saat bulu kuduk merinding atau jantung yang berdebar kencang saat ketakutan atau dikagetkan. Kita bereaksi, dan kemudian kita mencoba untuk pulih kembali.
0 komentar:
Posting Komentar