Senin, 28 Januari 2019

5 Fakta Bencana Alam di Sulsel, Korban Meninggal 69 Orang hingga Cuaca Buruk Menjadi Kendala Tim SAR

5 Fakta Bencana Alam di Sulsel, Korban Meninggal 69 Orang hingga Cuaca Buruk Menjadi Kendala Tim SAR
Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) mencatat, jumlah korban bencana alam di Sulawesi Selatan adalah 69 orang meninggal dunia dan 7 orang hilang. Kepala Pusat Data Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho juga menjelaskan, sebagain pengungsi sudah mulai pulang ke rumah mereka. Selain itu, tim SAR gabungan terus melakukan pencarian para korban. Cuaca buruk di lokasi bencana menjadi kendala utama para petugas. Berikut ini fakta baru bencana alam di Sulawesi Selatan: 1. Jumlah korban meninggal 69 orang

Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) mencatat terdapat 69 orang meninggal akibat bencana banjir dan longsor yang melanda 13 kecamatan/kota di Sulawesi Selatan hingga Senin (28/1/2019). "Dampak bencana per 28 Januari 2019 tercatat 69 orang meninggal, 7 orang hilang," kata Kepala Pusat Data Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho melalui keterangan tertulis, Senin (28/1/2019). Selain itu, terdapat 48 orang luka-luka dan 9.429 orang mengungsi karena terdampak bencana.

2. Para pengungsi mulai pulang ke rumah

Sutopo menuturkan, sebagian pengungsi sudah ada yang kembali ke rumahnya dan ada pula yang masih berada di pengungsian. "Masyarakat yang berada di pengungsian karena rumahnya rusak berat, masyarakat merasa lebih nyaman di pengungsian karena takut adanya banjir dan longsor susulan," kata Sutopo. Seperti diketahui, terdapat 559 rumah terdampak bencana, dengan rincian sebanyak 33 unit hanyut, 459 unit rusak berat, 37 unit rusak sedang, 25 unit rusak ringan, 5 unit tertimbun. BNPB juga mencatat terdapat 22.156 unit rumah yang terendam. Infrastruktur lainnya yang rusak akibat bencana yaitu, 34 jembatan, 2 pasar, 12 unit fasilitas peribadatan, 8 fasilitas pemerintah, dan 65 unit sekolah. Sutopo mengatakan penanganan beserta proses evakuasi masih terus dilakukan di daerah terdampak bencana.

3. Jumlah pengungsi mulai berkurang

Para pengungsi yang berada di dataran rendah seperti Kecamatan Pallanga dan Kecamatan Sombaopu yang tidak terdampak longsor namun terdampak banjir, mulai pulang ke rumah masing-masing. Sementara titik pengungsian di Wilayah daratan tinggi relatif bertambah seiring dengan terbukanya akses sejumlah titik yang terisolir. Wilayah daratan tinggi tidak terdampak banjir, namun terdampak longsor. Jika sebelumnya jumlah pengungsi mencapai 3.534 kini berkurang menjadi 3.141 orang. "Saya sudah pulang ke rumah untuk bersih bersih dan saya lihat cuaca sudah cukup membaik jadi posko pengungsian saya sudah tinggalkan," kata Rahman, warga Kelurahan Mangngalli, Kecamatan Pallangga,

4. Pencarian korban sempat terkendala cuaca buruk

Proses pencarian korban bencana longsor di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, diterpa cuaca buruk, Jumat (25/1/2019). Saat itu petugas SAR melakukan pencarian selama kurang lebih tiga jam. Tim SAR gabungan yang dibantu TNI dan Polri, dapat menemukan satu korban tewas bernama Daeng Lobo (35), yang tertimbun longsor. Cuaca buruk terpaksa menghentikan proses pencarian pada Jumat pukul 16.00 Wita. "Hari ini kami sudah hentikan pencarian karena cuaca yang tidak bersahabat dan tidak mungkin kami paksakan. Pencarian kami lakukan hanya selama tiga jam dan berhasil menemukan satu jenazah," kata Wakil Bupati Gowa Abdul Rauf Malaganni, Jumat (25/1/2019) di Dusun Pattiro, Desa Pattallikang, Kecamatan Manuju.

5. Gubernur: Pendangkalan sungai dan gundulnya hutan menjadi penyebab

Gubernur Sulawesi Selatan ( Sulsel) Nurdin Abdullah mengungkapkan banjir bandang diakibatkan pendangkalan dam sungai Bili-bili dan diperparah dengan terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan di daerah hulu. Hal itu dikatakan Nurdin Abdullah usai mengikuti perayaan karnaval pesona tana Luwu di kota Palopo, Sulawesi Selatan, Rabu (23/01/2019). “Ini adalah gejala alam yang luar biasa. Penyebab banjir akibat pendangkalan dam sungai Bili-Bili yang sudah serius untuk ditangani,” katanya. Untuk itu, upaya konservasi di hulu perlu segera dilakukan karena daerah aliran sungai (DAS) Jeneberang sudah masuk kategori DAS super kritis. “DAS Jeneberang itu sudah masuk kategori DAS yang super kritis akibat terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan di hulu seperti perladangan berpindah, dan sebagainya. Sementara lebih cepat perusakan hutan daripada upaya konservasi yang dilakukan,” katanya.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.